Jakarta, – Tindakan penggerebekan yang dilakukan oleh personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap kasus peredaran narkoba di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), menuai kritik tajam dari SETARA Institute. Lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu demokrasi dan hak asasi manusia ini menilai langkah TNI tersebut telah melanggar hukum karena berada di luar kewenangan utama institusi militer. SETARA Institute mendesak Presiden Prabowo untuk mengambil tindakan guna memastikan jajaran TNI tidak lagi melakukan operasi yang bukan menjadi domain tugasnya.

Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menyatakan bahwa penindakan kasus narkoba merupakan ranah penegakan hukum yang menjadi kewenangan utama Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Badan Narkotika Nasional (BNN), bukan TNI. Menurutnya, keterlibatan TNI dalam penggerebekan tersebut menunjukkan adanya praktik yang keluar dari koridor hukum dan fungsi pokok TNI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

“SETARA Institute mengkritik keras tindakan penggerebekan oleh TNI ini karena melanggar hukum,” ujar Hendardi dalam keterangannya pada Kamis, 8 Mei 2025. Ia menegaskan bahwa meskipun pemberantasan narkoba adalah musuh bersama, upaya tersebut harus dilakukan sesuai dengan mekanisme hukum dan pembagian kewenangan yang jelas antar lembaga negara.

Lebih lanjut, Hendardi menyoroti bahwa insiden di Bima bukanlah kali pertama TNI mengambil tindakan di luar kewenangannya. “Bukan kali ini saja TNI melakukan tindakan di luar kewenangan,” jelasnya, mengindikasikan adanya pola yang perlu segera dikoreksi.

Oleh karena itu, SETARA Institute mendesak Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan untuk melakukan tindakan yang diperlukan kepada Panglima TNI. Tujuannya agar Panglima TNI dapat memastikan jajarannya lebih memahami dan mematuhi batasan kewenangan yang dimiliki, sehingga tidak lagi melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi melangkahi tugas lembaga penegak hukum lainnya.

Penjelasan dari Pihak TNI

Menanggapi sorotan dan kritik tersebut, Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI, Mayor Jenderal Yusri Nuryanto, memberikan penjelasan. Menurut Mayjen Yusri, tindakan yang dilakukan oleh anggota TNI di Bima bersifat responsif terhadap tindak pidana yang terlihat secara langsung di depan mata.

“Ya kalau kita umpama di depan mata nih ya terlihat, melihat sesuatu yang tindak pidana. Kan nggak mungkin kita akan membiarkan. Jadi dalam penanganan awal nggak apa-apa kita tangkap,” tutur Mayjen Yusri saat ditemui wartawan di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, pada Rabu (7/5/2025).

Ia menambahkan bahwa setelah melakukan penanganan awal, TNI akan melihat siapa pelaku tindak pidana tersebut. Jika pelaku merupakan warga sipil, maka kasusnya akan segera diserahkan kepada pihak kepolisian atau kejaksaan untuk proses hukum lebih lanjut.

“Tetapi kita melihat pelakunya siapa nih. Ya kalau memang dia orang sipil ya diserahkan kepada kepolisian atau kepada kejaksaan. Jadi kita nggak akan membiarkan, oh biar aja itu bukan domain saya. Tidak 1 juga,” tegas Danpuspom TNI. Ia menggarisbawahi bahwa meskipun pelaku adalah sipil dan jelas melakukan tindakan kejahatan, setelah penangkapan awal, proses hukum selanjutnya diserahkan kepada institusi yang berwenang.   

Berdasarkan informasi dari sumber lain, penggerebekan yang dimaksud dilakukan oleh jajaran Komando Distrik Militer (Kodim) 1608/Bima di Desa Penapali, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, NTB, pada Kamis, 1 Mei 2025. Dalam operasi tersebut, tiga orang yang diduga sebagai pengedar narkoba berhasil diamankan beserta sejumlah barang bukti.

Perspektif Lain dan Urgensi Penegakan Aturan

Sementara itu, pandangan berbeda datang dari Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono. Ia menilai bahwa keterlibatan TNI dalam penggerebekan pengedar narkoba di Bima dapat dilihat sebagai bentuk dukungan terhadap upaya penegakan hukum yang lebih luas. Namun, Dave juga menekankan bahwa TNI tidak melakukan proses penahanan ataupun penyidikan, karena proses hukum inti tetap menjadi tanggung jawab pihak Kepolisian.

Di sisi lain, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam kesempatan terpisah pernah menyinggung pentingnya setiap instansi untuk memahami dan menjalankan tugas serta fungsi masing-masing dalam pemberantasan narkoba. Hal ini mengisyaratkan perlunya koordinasi yang baik dan penghormatan terhadap batas-batas yurisdiksi antar lembaga.

Kritik dari SETARA Institute ini kembali mengangkat perdebatan publik mengenai peran dan fungsi TNI, khususnya dalam konteks operasi bantuan kepada pemerintah daerah atau kepolisian. Meskipun niat untuk memberantas narkoba patut diapresiasi, penegakan hukum harus tetap berjalan sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menjamin kepastian hukum dan mencegah potensi penyalahgunaan wewenang. Kasus di Bima ini menjadi pengingat pentingnya setiap institusi negara untuk beroperasi dalam bingkai kewenangan yang telah ditetapkan.